Jakarta - Indonesia, kendati berkomitmen pada target Net Zero Emission (NZE) 2060, belum akan menghapus sepenuhnya penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, dalam Indonesia Economic Summit yang digelar di Jakarta pada Rabu, 19 Februari 2025. Bahlil menegaskan bahwa PLTU batu bara yang digunakan ke depan akan dibekali dengan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) yang bertujuan untuk menangkap emisi karbon dan kemudian menyimpannya di bekas sumur minyak serta gas, Kamis, 20 Februari 2025.
"Jadi, judulnya batubara bukan kotor, ini batu bara bersih," ujar Bahlil. Ucapan ini disampaikan untuk menegaskan bahwa Indonesia tetap berkomitmen menjaga lingkungan meskipun masih memanfaatkan batu bara sebagai sumber energi utama dalam beberapa dekade mendatang.
Kombinasi Energi Baru Terbarukan (EBT) dan Batu Bara
Bahlil juga menjelaskan strategi Indonesia dalam meningkatkan proporsi Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti tenaga surya dan angin. Namun, ia menyatakan bahwa kombinasi EBT dengan batu bara dilakukan agar mencapai harga yang lebih terjangkau. “Kita blending agar harganya pas masuk. Karena kalau tidak, saya yakinkan bahwa kita akan mengalami persoalan yang susah," tegasnya.
Menurut Bahlil, harga energi baru terbarukan saat ini masih terlalu tinggi untuk diterapkan secara masif di Indonesia tanpa adanya subsidi tambahan atau peningkatan tarif listrik yang signifikan. Dengan strategi kombinasi ini, Bahlil berharap industri di Indonesia tetap kompetitif dibanding negara lain.
Dampak Pengunduran Diri AS dari Perjanjian Paris
Dalam upayanya memenuhi Perjanjian Iklim Paris, Indonesia telah merencanakan untuk secara bertahap menghentikan penggunaan PLTU batu bara. Namun, perubahan dinamika internasional pasca Amerika Serikat meninggalkan perjanjian ini mempengaruhi strategi energi Indonesia. Bahlil merasa bahwa ada kekeliruan dalam kesepakatan internasional tersebut yang perlu menjadi perhatian Indonesia.
Tantangan Implementasi EBT
Bahlil memaparkan tantangan besar dalam implementasi EBT, terutama dari segi biaya. Biaya produksi listrik berbasis gas ternyata lebih mahal dibandingkan batu bara, dengan selisih yang bisa mencapai Rp 5-6 triliun per gigawatt per tahun. Jika Indonesia berencana membangun 10 GW PLTU gas hingga 2029, beban biaya akan mencapai Rp 50 triliun setahun, dan Rp 500 triliun hingga 2034 untuk pembangunan 21 GW.
"Ini adalah dilema yang sangat luar biasa. Sudah harganya tinggi, gas kita dipakai semua ke sana,” ungkap Bahlil, menyoroti bahwa ketersediaan gas juga menjadi kendala dengan perkiraan kebutuhan 250 kargo gas LNG untuk 10 GW PLTU gas per tahun. Artinya, hampir seluruh hasil produksi gas dalam negeri akan terserap untuk memenuhi kebutuhan listrik tersebut.
Pembicaraan dengan Presiden
Dalam kesempatannya, Bahlil juga menyampaikan bahwa dirinya telah berdiskusi dengan Presiden Prabowo mengenai masalah ini. "Saya laporkan kepada Pak Presiden, saya bilang kalau batu bara kita ini kan masih banyak, kenapa harus kita ikut gendang negara-negara besar? China, India, masih batubara, cuma di-blending," jelas Bahlil.
Melalui diskusi ini, Bahlil berharap dapat merumuskan strategi agar harga energi tetap terjangkau bagi masyarakat sekaligus memungkinkan transisi ke energi baru terbarukan. Harapannya, pengelolaan energi Indonesia dapat berjalan seimbang antara kepentingan ekonomi dan komitmen lingkungan.
Keputusan untuk tetap memanfaatkan batu bara, dengan teknologi CCS dan kombinasi dengan EBT, menggambarkan langkah realistis Indonesia dalam mencapai target NZE di tengah tantangan ekonomi dan geopolitik global. Kebijakan ini diharapkan dapat menjaga stabilitas energi nasional sembari meminimalkan dampak lingkungan dari aktivitas pembangkitan listrik.