Jakarta - Harga batu bara global kembali menunjukkan tren penurunan pada Februari 2025, dengan catatan harga per tonnya berada di angka USD 104,75. Ini merupakan penurunan sekitar USD 0,9 per ton dibandingkan dengan harga referensi batu bara Newcastle. Penurunan ini menambah deretan tren negatif harga batu bara yang telah berlangsung sejak awal tahun.
Salah satu faktor utama penyebab penurunan harga batu bara adalah potensi meningkatnya ekspor batu bara Amerika Serikat ke India. India, yang selama ini menjadi salah satu tujuan ekspor utama batu bara Indonesia, kini tengah memperluas jaringan perdagangan batu baranya. Selain itu, adanya persetujuan dengan empat tambang batu bara di Australia turut menambah tekanan terhadap harga global komoditas ini, Kamis, 13 Februari 2025.
Pada 11 Februari 2025, harga batu bara bahkan sempat mencatatkan angka USD 106,7 per ton sebelum menurun kembali. Reuters memprediksi bahwa penurunan ini kemungkinan besar akan berlanjut seiring berkurangnya impor batu bara oleh India sepanjang tahun 2025.
Pengaruh Pasar Global
Pasar batu bara dalam beberapa waktu terakhir sangat dipengaruhi oleh dua negara besar, yaitu India dan China. China, di sisi lain, sedang mengkhawatirkan adanya kelebihan pasokan batu bara global, sehingga terlibat dalam manuver perang dagang dengan Amerika Serikat. Langkah-langkah ini mempengaruhi dinamika pasar komoditas, termasuk batu bara.
Dampak Terhadap Ekonomi Kalimantan Timur
Tren penurunan harga batu bara ini juga memunculkan kekhawatiran di dalam negeri. Purwadi, seorang Pengamat Ekonomi dan Akademisi dari Universitas Mulawarman (Unmul), menyatakan bahwa penurunan harga batu bara dapat memberikan dampak signifikan bagi perekonomian Kalimantan Timur. Berdasarkan data BPS tahun 2023, sekitar 89 persen pendapatan ekonomi Kalimantan Timur berasal dari sektor batu bara.
"Kita berharapnya sih tidak terjadi seperti di tahun 2015-2016. Di mana sampai ekonomi kita minus," kata Purwadi saat dihubungi Media Kaltim.
Purwadi menyoroti kemungkinan meningkatnya angka PHK di industri pertambangan, termasuk di perusahaan besar seperti PT. Berau Coal yang saat ini juga mengalami kesulitan keuangan. Kondisi ini tentu saja akan berdampak negatif terhadap perputaran ekonomi di Kalimantan Timur, yang belum sepenuhnya mengelola hasil tambangnya secara mandiri.
"Pemasukan batu bara diurus oleh pemerintah pusat sebelum dibagikan ke daerah, dan ini tidak menguntungkan bagi Kalimantan Timur yang sangat bergantung pada hasil batu bara," jelas Purwadi.
Transisi Ekonomi yang Mendesak
Purwadi menggarisbawahi pentingnya mempercepat transisi ekonomi dan mencari alternatif sumber pendapatan selain batu bara. "Mudah-mudahan tidak terjadi ke sana (tren terus menurunnya harga batu bara selama 2025), karena secara transformasi ekonomi kita masih belum siap," tutur Purwadi mengungkapkan kekhawatirannya.
Dalam pandangan Purwadi, ketergantungan yang tinggi pada batu bara akan membuat ekonomi Kalimantan Timur sangat terpengaruh oleh fluktuasi pasar global, yang sering kali tidak terduga. Untuk mengantisipasi hal ini, upaya mendorong diversifikasi ekonomi dan akselerasi transisi energi harus menjadi prioritas.
"Penikmat ekspor batu bara Kalimantan Timur selama ini sih para kapitalisme yang pemilik saham besar di bisnis batu bara tersebut. Kita harus mulai mencari keuntungan yang lebih merata bagi masyarakat luas," tutup Purwadi.
Dengan demikian, tantangan harga batu bara di pasar global menjadi peringatan penting bagi Indonesia, khususnya Kalimantan Timur, untuk segera melakukan pembenahan ekonomi dan mempercepat proses transisi energi. Seluruh pihak terkait diharapkan dapat bersinergi untuk mengurangi risiko ekonomi yang bergantung pada satu komoditas saja dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional di tengah dinamika pasar global.